Selasa, 11 September 2012

HIDUP.(cerpen.2)

Semua manusia akan kembali ke tangan Tuhan. Tuhan menyuruh kepada setiap umatnya agar selalu tabah. Dan ketabahan itulah yang membuat kita tegar. Sama halnya seperti manusia lain, aku di lahirkan, dibesarkan dan di kasihi oleh kedua orang tuaku. Mereka yang akan selalu menyayangiku, dan mereka yang akan membesarkanku hingga dewasa kelak. Tak lengkap rasanya bagiku bila hidup ini tanpa kehadiran nenek dan kakek. Hidupku ceria dengannya. Terungkap sebuah harapan, bahwa aku akan selalu berada dalam pelukan nenek dan kakek , yang setiap minggu aku berjumpa dengannya, bila ku datang ke rumahnya, terpancar wajah cerianya menyambut kami dengan gembira. Takkan ku lupakan saat – saat itu. Sebagai hambanya,
kami harus menerima takdir itu. saat aku duduk di bangku kelas 4 SD, nenek meninggalkan kami di dunia ini, tepatnya pada tanggal 22 november 2005. Almh.Fatimah, itulah namanya. Seorang wanita yang tegar, dan wanita yang terlihat kuno. Beliau mempunyai 8 orang anak, banyak bukan?.... Ya, itulah nenek, nenek sangaaaat hebat. Dia tak pernah mengeluh dalam membesarkan anak – anaknya. Nenek membesarkan ke-8 anaknya dengan sabar, dengan penuh kasih sayang, dan anehnya nenek tak pernah meminta anak – anaknya untuk patuh kepadanya, kecuali itu datang dari dirinya sendiri. Nenek sempat bercerita padaku, nenek sangat bahagia saat mengetahui ia melahirkan seorang anak laki – laki. Maklumlah, nenekku tlah lama menginginkan seorang anak laki – laki. Dan tau tidak bayi laki – laki itu siapa??... ternyata ayahku yang sekarang sudah separuh baya. Kata ayah, dulu saat ayah masih kecil, bila nenek akan pergi ke pasar selalu di antar kakek dengan menggunakan sepeda. Romantis sekali bukan?. Kalau jaman sekarang jarang ditemui yang seperti itu. Aku bisa membayangkan saat nenek memeluk kakek, bila kakek sengaja mengencangkan ayunan sepedahnya. Sungguh, iri aku pada mereka. Coba saja ayah dan ibuku seperti itu, pasti aku senang sekali. Tapi harus bagaimana lagi, ayah dan ibuku bukan tipe orang yang romantis, sangat berbeda dengan nenek dan kakek. Kegembiraan selalu hadir didalam kehidupan kami saat nenek masih ada, karena neneklah yang mengerti kami. Semenjak kepergian nenek, hubungan keluarga terjalin kurang harmonis. Meskipun waktu itu umurku baru 10 tahun, tapi aku sudah mulai mengerti. Dari ke-8 anak nenek, ada 2 orang anak yang dari kecil kurang akur, mereka itu adalah ayah dan tanteku. Tak usah di sebut siapa namanya. “ Apa artinya sebuah harta bila keluarga tidak harmonis”. Ucap nenek selalu pada kami. Ayah dan tanteku selalu saja berbeda pendapat, ayahku berkata A, sedangkan tanteku berkata B. perbedaan pendapat itu semakin membuat mereka kurang akur. Sayang, nenek telah tiada, tak ada lagi yang bisa mendamaikan mereka. Sampai sekarang ini, hubungan mereka masih seperti ini- ini saja, seperti keluarga jauh. Kami semua sangat menyayangkan hal ini. Tapi kakek hanya berkata “ biarkan saja mereka yang menyelesaikan urusannya sendiri, mereka sudah dewasa, bisa menentukan yang mana yang baik dan mana yang buruk”. Beberapa minggu sebelum nenek meninggalkan kami, sempat terjadi perang dingin antara ayah dan tante. Sebenernya ayah sangat menyesali itu, ayah bertanya – tanya pada dirinya sendiri mengapa terjadi pertengkaran itu. Hingga pada suatu hari, nenek terjatuh di dekat kamarnya, kami semua sangat panik, kami khawatir kepada nenek, karena memang beberapa hari terakhir nenek sulit untuk makan. Sore hari, nenek tampak sudah pulas tertidur, kami kira nenek tidur sama halnya seperti biasa, tapi ini ternyata lain, tidur nenek begitu aneh, terlihat sudah tidak berdaya lagi. Akhirnya sebelum adzan maghrib tiba, kami semua mengantar nenek ke RS.AL-ikhsan, tanpa banyak bicara sang dokter pun segera memasang infusan pada nenek, dipasangnya sebuah selang panjang di hidung guna untuk saluran makan nenek yang tak bisa lagi makan lewat mulut. Sehari setelah nenek dirawat di rumah sakit, nenek tampak sehat. Malah sempat bercanda dengan kami. Selama nenek di rumah sakit kakek hanya menatapnya, tak sedikitpun kakek bicara. Rasa takut kehilangan kini di rasakan kakek. Kakek tak mau beranjak dari kamar nenek, siang malam kakek selalu menemani nenek, begitu setianya kakek pada nenek. Seusai makan siang, aku duduk di sebelah tempat tidur nenek, tanganku di pegangnya erat-erat, padahal aku sudah tak tahan diam di situ, karena bau obat yang sangat menyengat. Tapi harus bagaimana lagi, karena nenek memintaku untuk duduk di sana. Di sebelah ku terdapat ibu yang sedang mengupas sebuah mangga, nenek menuliskan sesuatu pada selembar kertas, dan tulisannya itu ialah “ Lella, beginilah kalau sudah tua “. Setelah melihat kertas itu, ibuku tak kuasa menahan tangis, ibu menangis di depan nenek, dan meminta nenek untuk tidak mengatakan kata itu lagi. Tak hanya ibu yang menangis, tapi ku lihat nenek pun menangis. Tapi nenek seperti tak mau bila kita melihatnya menangis, nenek menahan air matanya. Ibu yang sedang mengupas sebuah mangga pun bergegas menghampiri nenek, ibuku memeluk nenek erat, seperti tak mau di tinggalkan. Adikku yang semula tertawa riang pun kini menangis tak kuasa menahan sedih. Semua keluarga menangis melihat kejadian itu, hingga akhirnya datang paman yang menghibur kami, paman berusaha merubah suasana dalam kamar itu menjadi riang kembali. Malam pun tiba, entah mengapa pada malam itu kami berebut untuk menginap di sana, padahal pada malam – malam sebelumnya selalu aku dan ayah yang menjaga nenek di rumah sakit. Jujur saja waktu itu aku memang lelah, jadi sepupuku lah yang menggantikan. Sebenarnya hatiku sanga…t senang, seperti bebas dari tugas. Rencananya pagi itu aku dan ibu akan pergi belanja ke swalayan sebentar, tapi ternyata Tuhan berencana lain. Telepon rumah berdering keras, seakan memanggil kita untuk segera mengangkat telepon itu. Segeralah ayah datang dan mengangkat telepon itu. Aku pikir itu telepon dari teman kerja ayah, tapi ternyata bukan, telepon itu adalah telepon dari pihak rumah sakit yang menyuruh kami segera ke sana. Muka ayah yang semula segar karena baru saja selesai mandi kini berubah menjadi muka kusut yang tak enak untuk di pandang. Tanpa basa – basi kami pun segera ke sana. Sesampainya di sana, kami melihat nenek sedang terbaring lemah. Paman dan sepupuku yang malam tadi menginap di sana matanya berkaca – kaca. Saat kami tanya mengapa, mereka hanya diam, sulit untuk bicara. Ayah berlari mengejar dokter yang merawat nenek, lalu mereka berbincang – bincang, tampak membicarakan sesuatu yang sangat serius. Lalu ayah memanggil ibu, ibupun ikut berunding. Hingga akhirnya ibu dan ayah kembali, mereka meminta agar kita semua keluar karena akan di lakukan pemeriksaan pada nenek. Tapi sepertinya itu bukan hanya pemeriksaan biasa, Nampak beda dari pemeriksaan itu. Setelah selesai, dokterpun keluar dan meminta kami segera bertemu dengan nenek. Nenek terlihat sehat, bahkan setelah itu kami sempat berfoto dengan nenek meskipun nenek di foto dalam keadaan lemah seperti itu. Sungguh tak bisa di sangka, malamnya nenek meminta untuk pulang dari rumah sakit. Nenek sudah tak betah tinggal berhari – hari di rumah sakit. Kami sekeluarga kaget mendengar permintaan nenek itu, kami semua tidak melaksanakan keinginan nenek. Nenek terlihat marah dan kesal, tapi kami tidak melaksanakan keinginan nenek itu karena itu untuk kebaikan nenek, lagi pula dokter belum mengizinkan nenek pulang. Nenek akhirnya menuruti perintah dokter untuk tetap tinggal di rumah sakit. Tapi beberapa jam kemudian nenek nekad membuka infusannya sendiri, dan nenek membuktikan bahwa dirinya telah sembuh. Kami semua panik, tapi kakek datang dan berkata “ sudahlah bila ibumu ingin pulang, kita antarkan saja dia “, perkataan kakek itu tidak bisa kami bantah, akhirnya kami menuruti keinginan nenek. Sesampainya di rumah, nenek hanya tersenyum, meminta cucu – cunya mengantar dia keliling rumah untuk melihat- lihat, sungguh suatu kejadian yang aneh. Nenek seperti baru tinggal di rumah, padahal nenek sudah 5 tahun lebih tinggal di rumah itu. Nenek yang biasanya tidak meminta makan, kini nenek meminta makan pada kami, dan meminta di buatkan sepiring nasi goreng. Masih aku ingat pesanannya itu yaitu “ nasi goreng kecap, pake ayam, ga pake telor dan ga pedes “ pesan nenek. Sebelum nasi goreng itu matang nenek telah tertidur pulas di sofa. Dirinya tampak lelah, tak tega kami membangunkannya. Beberapa jam kemudian nenek terbangun, wajah pucatnya membuat kami semua panik, kami semua mencoba menghilangkan fikiran – fikiran negative. Semua orang khawatir padanya, tapi nenek tetap saja membuat kita lengah dan tak memikirkannya. Nenek sering melihat jam dinding, apa sebenearnya ini semua?..... hati kami bertanya – tanya. Aku pikir nenek melihat jam itu karena jam itu merupakan hadiah dari kakek, tapi ternyata bukan, perkiraanku salah. Di waktu yang sama, Nenek hanya senyum saat melihat tante yang sibuk menghubungi saudara – saudara. Terpancar raut gelisah dari muka tante. Nenek heran melihat kami duduk berkumpul menatapinya sambil menangis. Tak ada kata – kata lagi yang muncul dari mulutnya. Tak ada senyum lebar dari mulutnya, melainkan senyum – senyum kecil. Tangannya tak bergerak, lurus dan terlihat lemas. Semua badannya dingin bagai di selubungi bongkahan – bongkahan es. Sampai waktunya tiba….. Kedipan yang terakhir kalinyapun tiba. Terdengar semua orang berteriak memanggil nenek. Hati kami menjerit dan menangis melihat kedipan terakhir itu. Orang – orang datang menghampirinya…. “innalillahi wainna ilaihi roji’un “.. Kata itu yang terakhir ku dengar. Karena diriku lemas, aku pingsan di samping tempat tidur nenek saat itu juga. Kini tak ada lagi nenek.. Kini tak ada lagi sang penghibur lara… Nenekkk…. Kami mencintaimu. Semoga kau mendengarnya di sana.. SEKIAN..

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates